Tentang Maaf
gambar diambil dari sini |
Hari ini saya dapet pelajaran baru tentang budaya. Tadi pagi waktu sedang sarapan di sebuah kedai, adalah seorang laki-laki usia 30an yang berjualan kerupuk di kedai makan itu. Dia jalan dari meja ke meja, menemui penolakan. Tidak ada satu orang pun yang membeli kerupuk jualannya. Sampai di meja saya, teman saya mengangkat tangan kanannya tanda tidak mau membeli. Sementara saya mengangkat dua tangan yang dirapatkan, mirip ilustrasi di atas, sambil bilang "maaf". Cara menolak seperti ini kerap saya lakukan sejak sekitar tahun 2004 kalau tidak salah. Meniru seorang teman yang tidak memberi uang kepada pengemis jalanan atau tidak membeli koran yang dijajakan di lampu merah. Menurut saya itu cara yang baik, kalau tidak bisa dikatakan tepat, untuk menolak tetapi masih sopan dan malah menghargai usaha si penjual. Biasanya saya imbangi dengan sedikit senyum, dan kepala menggangguk sedikit. Entah kebayang atau tidak oleh teman-teman, bagaimana saya melakukannya. Selama ini tidak ada masalah dengan itu. Bahkan ketika saya berada di Malaysia atau negara mana pun. Sampai pagi ini, ketika penjual kerupuk sempat melewati meja saya dan kembali lagi.
Dia menatap saya lekat dan berkata "saya orang muslim, awak Islam juga kan? awak menghina saya bagi tangan macam itu, awak kafir kah? sebab itu tangan orang kafir yang buat macam itu", lebih kurang begitu. Si penjual berbicara dengan nada marah yang ditahan, sementara mata mulai memerah. Mukanya terlihat seperti ingin melumat saya karena gerak tubuh saya yang dianggap menghina. Kemudian berulang kali dia tanya "awak Islam kan?" dan mengulang kata 'kafir'. Saya kemudian sadar bahwa gerakan tangan saya dianggap menghina, lalu saya minta maaf. Tidak cukup sekali, karena dia meneruskan "ceramah"nya. Saya mengulang kedua kali, dia pun masih tetap menceramahi saya. Sampai ketiga kali, saya pun menunduk, tidak lagi menatap matanya.
Setelah dia pergi, teman saya bertanya, apa yang salah. Kemudian saya peragakan apa yang saya lakukan dengan kedua tangan ini. Dia kemudian mempertanyakan, bagian mana yang salah dari cara menolak itu. Saya pun jujur masih bingung. Tapi kata kafir yang disebutkannya tidak pernah terlintas di benak saya. Saya bahkan tidak tau bahwa gerak yang saya anggap halus itu ternyata bagi (budaya) orang lain tidak halus, malah menghinakan. Pagi ini saya belajar hal penting, lagi. Bahwa saya masih punya PR besar tentang pemahaman budaya ini.
Tapi kemudian saya mensyukuri satu hal, saya tidak lupa dengan kata maaf atas salah. Entah itu salah yang saya lakukan dengan sadar atau tidak. Salah yang secara teori tidak ada di pemahaman saya, tetapi praktiknya di konteks yang berbeda malah melukai. Karena saya selalu berpikir bahwa kesalahpahaman terjadi karena ada ketimpangan atau perbedaan pemahaman dari dua pihak. Maka dari itu kalau pun saya (merasa) tidak salah, saya cenderung mengutarakan maaf sebagai bagian dari faktor yang menyebabkan kesalahpahaman itu.
Semoga tidak terulang. Semoga jualannya hari ini banyak yang laku, Encik :)
0 komentar