Tentang Stereotipe

By 10:22:00 AM

ster·e·o·type

Stereotypes are preconceived overgeneralizations about a group, without regard to individual uniqueness. Racial-ethnic stereotypes, include characterizations of communication and social skills, are often constructed and perpetuated by the media. (dari sini)

Sejak 2009 saya meneliti mengenai adaptasi TKI di Malaysia. Salah komponen di dalamnya yang saya lihat adalah tentang stereotipe; dari media massa, dari masyarakat lokal, dari sesama imigran dan bahkan dari TKI itu sendiri. Di sini ingin saya colek sedikit topiknya tentang bagaimana TKI dilihat dan di-stereotipe-kan oleh....kita. 

Tahun 2006 lalu ketika pertama kali saya ke Malaysia karena urusan kerjaan, ada satu pengalaman yang sempat membuat saya kesal. Oleh seorang kolega, saya diperkenalkan kepada anaknya yang berusia sekitar 4 tahun, manis dan lucu. Bagaimana cara beliau memperkenalkan saya? "Dek, ini kakak daripada Indon, dia ni macam bibi." Di situ saya merasa direndahkan. Pada saat itu. Saya waktu itu adalah Sarjana Sastra, sudah bekerja dengan gaji lumayan dan sedang proses mendaftar untuk meneruskan sekolah tingkat Strata 2. Sejak lahir hingga tahun kepergian saya pertama kali ke Malaysia, saya hanya membaca dan mendengar berita-berita dari media massa di Indonesia, mendengar dan membaca pendapat-pendapat orang Indonesia tentang Malaysia, budaya dan orang-orangnya, begitu pula tentang TKI. Jadi, itulah reaksi yang bisa muncul pada masa itu: kesal karena merasa direndahkan.

Tahun 2008 perama kali saya belajar tentang Intercultural Communication dan mengenal bagaimana stereotipe terbentuk. Bagaimana interaksi sosial dan konsumsi media mengkonstruksi apa yang kemudian kita pikirkan dan apa yang harus kita pikirkan. Umumnya begitu. Tapi pada kenyataannya, kita bisa keluar dari zona itu, kok. Sejak itu, cara saya memandang diri saya berbeda, cara saya memandang negara saya dan mencintainya juga berbeda, cara saya memandang budaya lain juga berbeda. Begitu juga cara saya melihat negara Malaysia dan orang-orangnya. Kebetulan pula saya punya kesempatan bekerja di Malaysia, mendapatkan uang lebih dan kemudian bisa saya pakai untuk jalan-jalan. Dari pengalaman jalan-jalan itu, saya banyak menampar diri saya dan persepsi saya dan stereotipe saya yang lama terbentuk. Karena saya kurang tahu, kurang baca, kurang melihat dan kurang berpikir. 

Dari situ penelitian saya tentang TKI ini dimulai. Dari pandangan bahwa stereotipe tentang diri kita bahkan muncul dari kita sendiri. Gambarannya gini. Tidak sedikit kok orang Indonesia yang bergidik ketika melihat TKI bergerombol. Ada saja komentar mereka. Tidak bisa disalahkan juga, karena bekal pendidikan yang tidak begitu tinggi dan pengalaman interaksi di tempat asalnya menjadi kombinasi bagaimana mereka bersikap di rantau. Bahkan beberapa dari mereka paham kok bagaimana media dan masyarakat menggambarkan diri mereka. TKI itu dilihat seperti apa. Mereka hidup bergerombol dengan sesamanya, karena itu membuat nyaman, bukan tentang membuat eksklusif.  

Mereka bukan bodoh atau tidak peduli tentang apa yang harus dilakukan. Tapi mereka belum punya kesempatan untuk terliterasi mengenai apa yang sepatutnya mereka lakukan, apa yang harus mereka pelajari dan apa yang semestinya mereka pahami. Tujuan mereka sederhana: mencari uang, supaya keluarga bisa hidup nyaman. Di bandara pun mereka disebut Pahlawan Devisa, kan?. Tapi kenyataannya, tujuan itu tidak dilengkapi dengan persiapan untuk merantau. Sebutan Pahlawan Devisa juga tidak dilekatkan dengan bekal pengetahuan. They barely know nothing about it. 

Kamu kesal dengan lingkunganmu, karena cara berpikir mereka, karena cara mereka memandangmu. Ada kemungkinan kamu memilih untuk diam di rumah, kan? Sederhananya begitu.

Ketika saya bertemu orang-orang yang melihat saya dengan konstruksi stereotipe mengenai TKI yang buruh, kurang berpendidikan dan miskin, saya mulai belajar untuk menerima itu dengan tidak marah. Kemudian saya meluruskannya. Saya biasanya menyebutkan saya sedang melakukan apa di negara ini, status saya apa. Tanpa menyalahkan bagaimana stereotipe yang dimiliki lawan bicara saya. Pesan saya disampaikan dengan santai, tapi sebisa mungkin kena sasaran. Biasanya dari satu atau dua kali pengalaman itu akan berkesan banyak pada bagaimana kemudian mereka melihat TKI dan orang Indonesia secara umum. Ini pun masih proses, belajar itu tidak pernah selesai, kan :)

Saya biasa ngobrol dengan orang lokal dengan tujuan mengenalkan budaya saya dan memahami budaya mereka. Maksudnya agar ketika berinteraksi, konflik bisa diminimalisir. Seperti ketika mereka menyebut "Indon", saya akan meluruskan dengan "Indonesia" tanpa menyinggung atau menyalahkan mereka. Dengan begitu, lama-lama mereka akan menggunakan kata "Indonesia" secara penuh. Atau ketika mereka bertanya tentang makanan, tentang konflik yang ada, saya mencoba menjelaskan dengan tetap melihat dari dua sisi. Karena saya toh ada di sini, saya punya kesempatan untuk mempelajari budaya mereka, jadi saya bisa menggunakan dua pendekatan budaya setiap kali melihat masalah. Ini melegakan, lho. Serius. Kita belajar sekaligus memberikan pemahaman baru kepada orang lain, combo :)

Baru saja saya menonton film 99 Cahaya di Langit Eropa, saya suka contoh langkah yang diambil untuk belajar paham dan bertoleransi, tentang memahami budaya lain, tentang memahami bagaimana orang lain membentuk persepsi. Itu bisa diterapkan dengan bagaimana kita melihat TKI atau bahkan diri kita ketika ada di luar negeri. Mendekati budaya yang tidak kita pahami, itu bisa dilakukan. You don't know because simply you never find out or try to know it. 

Kalau kata film 99 Cahaya di Langit Eropa itu, kita tidak perlu membalas dengan membangun stereotipe ketika ada stereotipe tentang kita muncul. Justru kita yang punya kesempatan untuk meliterasi diri, punya kesempatan lebih banyak untuk belajar dan tahu dan berbuat lebih banyak meluruskan banyak hal. Begitu juga tentang stereotipe. Mungkin kita akan dianggap aneh, alien, tidak nasionalis atau entah apa ketika kita bisa melihat satu hal dari dua sudut pandang. Sementara itu orang lain di sekeliling kita tumbuh dengan stereotipe negatif. Tapi, ada saatnya kita bisa meluruskan semua, pelan-pelan. Cukup sabar dan konsisten, bisa :)

Dari sini mungkin kita bisa menilik kembali bagaimana stereotipe tentang TKI terbentuk di kepala kita. Mungkin bisa mulai dipikirkan kembali. Sebab stereotipe itu muncul, dan apakah bisa kita ubah? 
Jadi, mulai hati-hati tentang stereotipe yang terbentuk, ya. 

Boleh baca ini sedikit:
The Social Construction and Stereotype
Sedikit kutipan yang bisa jadi bahan pemikiran: social standard is determined by society, and it is formed by the individuals that belong to the society.

Culture is amazingly complicated. You need to learn it with your mind fully open :) Have a good day!

*tulisan ini berdasarkan pengalaman saya, kalau ada yang punya pengalaman berbeda, senang sekali kalau mau berbagi :)

You Might Also Like

0 komentar