Dilindes koper, ditabrak bahu: stereotype berawal dari sini
Ini mungkin perkara sepele bagi beberapa orang, tentang keluar dan masuk kendaraan umum atau lift. Siapa yang didahulukan?
X: Kamu orang yang bagaimana?Y: Saya peduli sesama dong! *Kemudian masuk lift tanpa membiarkan orang di dalamnya keluar*
Saya selalu bawel komentar bahwa tidak perlu berpendidikan tinggi untuk bisa paham konsep: kalau kamu mau masuk ke ruangan yang penuh, biarkan orang yang di dalam keluar dahulu agar kamu bisa masuk ke dalam ruangan tersebut. Sederhana. Tapi ketika berkaitan dengan kepentingan, kadang orang suka lupa bahwa yang punya kepentingan itu bukan hanya dirinya saja. Bukan pun mereka tidak tahu, tapi terkadang mereka mengabaikan hal tersebut.
Pernah saya sangat marah sekali ketika hendak keluar dari kereta dan ternyata orang-orang di luar pintu kereta langsung menerobos masuk. Mungkin salah bahwa kemudian saya memaksa keluar, I need to go out of the train, jadi (di atau)tertabrak oleh seorang perempuan. Saya spontan berkata "Sabar dong, biarkan yang di dalam keluar dulu", dan disambut dengan tatapan tajam ingin menerkam. Jarang saya bisa berkata begitu, biasanya diam. Sederhana, malas bersitegang dan malas membuat diri emosi. Lha tapi tetep kesel :|
Hari ini, pintu lift terbuka, saya di dalam kotak besi itu. Di depan lift sudah ada beberapa orang mengantri. Belum saya melangkah ke luar kotak, mbak-mbak sudah asik melangkah sambil menggeret kopernya, diikuti beberapa orang lainnya. Saya melipir ke sisi pintu sebelah kanan dan tetap kaki saya dilindes roda koper. "Aw!" begitu bunyi yang keluar dari mulut saya. Manis sekali. Beruntung bukan makian. Untung sekali. She felt like nothing happened. Good. And my toes hurted.
Ini, situasi seperti ini yang saya maksud. Saya yakin, mereka, siapa pun, tahu bahwa ada yang harus didahulukan. Tapi they just simply ignore it. Sedihnya, perilaku-perilaku seperti ini bisa berujung pada stereotype tentang "oh, itu budaya mereka kok". And it is not an excuse.
Banyak sekali stereotype terbentuk tentang orang Indonesia, tapi pasti tidak satupun dari kita mau mendapat stereotype buruk di jidat kan? Seperti tulisan seorang bule beberapa waktu lalu yang cukup menghebohkan timeline. But we cannot deny of every line she wrote, can we? In the other hand, we dont want to be portrayed as something bad as well.
Then what should we do? Paying attention. Understand more. And do right. Kalau dalam komunikasi antar individu, ada istilahnya kita perlu bisa linstening bukan cuma hearing. Dalam Bahasa Indonesia mungkin kedua kata ini diartikan sebagai mendengar, tapi ada perbedaan di situ. Begini, kamu sedang jalan berdua dengan temanmu, you hear everything on the street; people chattering, cars honking, breeze, and so on, but you only listen on what your friend's story. It doesn't mean you know about nothing is happening in the environment, but you focus on one thing.
Dalam kehidupan sehari-hari, kamu, kita, semua tahu tentang kepedulian, kepentingan, dan bagaimana harus berperilaku, tapi karena kita tidak fokuskan diri kita pada itu, kemudian bump, you hit someone when entering the lift. Kesadaran perlu ditingkatkan dengan memerhatikan, kemudian mengerti bahwa semua orang punya kepentingan dan kita menempatkan mana yang harus didahulukan agar bisa berjalan harmoni semuanya dengan cara do right, kalau memang harus menunggu, maka tunggulah, kalau memang harus bergerak sedikit ke pinggir, maka lakukanlah. Itu saja.
Abstrak mungkin. Karena semua orang pasti tahu mana yang penting dan tidak. Tapi tahu saja tidak cukup, karena kita harus paham. Awalnya mungkin tentang kita dan kenyamanan kita. Tapi ada akhirnya, tentang stereotype yang akan melekat kepada kita, masyarakat kita :)
Jadi, create your own stereotype by paying more attention, understanding and doing right.
Cheers!
0 komentar