[Seri Adaptasi] Budaya itu berbeda-beda
If you reject the food, ignore the customs, fear the religion and avoid the people, you might better stay at home - James Michener
Dalam
kajian-kajian Adaptasi, hijrah atau berhijrah adalah sorotan utama
mengapa kajian dilakukan. Gambarannya begini, manusia terlahir dari
sebuah keluarga di mana budaya tertentu sudah tertanam di keluarga
tersebut. Budaya, apa sih yang disebut budaya itu? Apakah tentang tarian
saja? atau pakaian adat? atau bahasa saja? Budaya dan kebudayaan itu
luas cakupannya, tapi inti dari keduanya adalah berkaitan dengan akal
pikiran, kegiatan sehari-hari dan artefak/hasil karya dari masing-masing
individu. Dapat dibayangkan bahwa setiap individu memiliki budayanya
masing-masing, bergantung dari bagaimana keluarga mengajarkan padanya
tentang tata cara kehidupan sehari-hari, bahasa yang digunakan untuk
berkomunikasi, bagaimana bersikap, berpakaian dan hal printil lainnya.
Sepertinya sederhana, tapi ternyata tidak demikian. Coba ingat-ingat,
bagaimana pertama kali teman-teman masuk ke lingkungan yang baru?
Setelah sekian tahun hanya kenal anggota keluarga saja, tiba-tiba
teman-teman "diceburkan" ke dalam satu lingkungan baru; sekolah. Apa
yang bisa diingat? Rasa takut? Bingung harus bagaimana? Siapa saja yang
ada di kelas? Kemudian, ingat lagi bagaimana teman-teman masuk ke
jenjang sekolah berikutnya; sekolah dasar, sekolah menengah dan
seterusnya. Ada banyak hal yang dengan tidak sadar telah ditemui;
aturan, kebiasaan serta hal-hal baru lainnya yang sebelumnya tidak
ditemukan di lingkungan tempat tinggal teman-teman. Dari pengalaman itu,
teman-teman sebetulnya telah mengalami proses beradaptasi; bahwa
teman-teman harus mengenakan seragam, bahwa harus bersepatu setiap ke
sekolah, bahwa ada jam masuk kelas, jam belajar dan lain sebagainya,
bahwa ada konsep keluar main dan istirahat, bahwa ada yang namanya
Pekerjaan Rumah dan Tugas, dan lain sebagainya termasuk konsekuensi
ketika melanggar. Dari konsep saja sudah memperlihatkan bahwa ada
berbagai budaya baru di lingkungan yang baru. Ada berbagai kegiatan dan
kebiasaan baru yang harus dilakukan di lingkungan yang baru itu. Ini
belum membicarakan berhijrah lho, ya. Baru melihat bahwa kita dalam
kehidupan sehari-hari saja pasti mengalami berbagai situasi di mana
budaya yang berbeda kerap ditemukan dan proses adaptasi pasti dialami.
Kalau hidup sehari-hari saja kita akan menemukan banyak budaya baru dan kemudian kita harus memahami budaya tersebut serta beradaptasi dengan hal baru itu, apalagi kalau judulnya berhijrah. Saya coba mengingat bagaimana pertama kali saya pindah ke Cirebon, setelah 11+ tahun tinggal di Dumai. Bagaimana perayaan Idul Fitri tahun 1994 itu menyisakan rasa sedih karena tidak ada yang berkunjung ke rumah, sementara di Dumai dulu, perayaan Idul Fitri itu bisa 2 minggu penuh, rumah akan selalu dikunjungi banyak orang. Baru sadar kemudian bahwa budaya saling berkunjung pada perayaan Idul Fitri itu berbeda di lingkungan tempat tinggal saya yang baru, di Cirebon. Biasanya setelah shalat, para tetangga bersalam-salaman di mesjid dan kemudian pulang ke rumah masing-masing untuk bersiap pergi berkunjung ke keluarga mereka. Jadi, saling mengunjungi di lingkungan tempat tinggal itu bukan menjadi kebiasaan dalam perayaan Lebaran. Perlu waktu satu tahun untuk saya bisa menerima bahwa Lebaran itu tidak semeriah di Dumai.
Kalau hidup sehari-hari saja kita akan menemukan banyak budaya baru dan kemudian kita harus memahami budaya tersebut serta beradaptasi dengan hal baru itu, apalagi kalau judulnya berhijrah. Saya coba mengingat bagaimana pertama kali saya pindah ke Cirebon, setelah 11+ tahun tinggal di Dumai. Bagaimana perayaan Idul Fitri tahun 1994 itu menyisakan rasa sedih karena tidak ada yang berkunjung ke rumah, sementara di Dumai dulu, perayaan Idul Fitri itu bisa 2 minggu penuh, rumah akan selalu dikunjungi banyak orang. Baru sadar kemudian bahwa budaya saling berkunjung pada perayaan Idul Fitri itu berbeda di lingkungan tempat tinggal saya yang baru, di Cirebon. Biasanya setelah shalat, para tetangga bersalam-salaman di mesjid dan kemudian pulang ke rumah masing-masing untuk bersiap pergi berkunjung ke keluarga mereka. Jadi, saling mengunjungi di lingkungan tempat tinggal itu bukan menjadi kebiasaan dalam perayaan Lebaran. Perlu waktu satu tahun untuk saya bisa menerima bahwa Lebaran itu tidak semeriah di Dumai.
Lagi, ketika saya berhijrah ke Jatinangor untuk kuliah, lebih banyak hal mengejutkan lainnya yang saya hadapi. Ketika pindah ke Cirebon, saya menghadapi budaya-budaya baru didampingi keluarga, saya punya satu "rumah" untuk merasa nyaman. Agak berbeda ketika berhijrah ke Jatinangor, saya sendiri. Kenyataan bahwa saya harus makan dengan membeli di warung, bahwa sahur akan sendirian di kamar, bahwa akan sendirian ketika sakit, bahwa harus paham dan bisa menggunakan bahasa Sunda untuk keperluan sehari-hari, bahwa ada ojek sebagai alat angkut ke kampus, bahwa udara di Jatinangor sangat sejuk pada masa itu sampai-sampai saya selalu memakai dua selimut ketika tidur dan banyak hal-hal lain yang saya temukan. Itu mungkin sederhana, dan hal yang biasa bagi teman-teman, tapi untuk anak usia belasan yang sebelumnya tidak pernah keluar rumah, ada riak-riak kecemasan dalam diri saya pada saat itu. Tiga bulan adalah waktu yang cukup untuk bisa mengenal lingkungan baru di daerah kost dan kampus. Mulai punya teman dekat. Mulai ada kegiatan lain selain kostan-kampus-kostan. Mulai nyaman.
Pengalaman lain lagi, dan masih dirasakan hingga sekarang, adalah berhijrahnya saya ke Kajang, Malaysia untuk sekolah. Tahun 2007 ketika 1 Ringgit Malaysia masih di kisaran IDR 2.600an, saya berhijrah untuk sekolah. Tinggal sendirian itu hal biasa. Sudah 6 tahun sejak pertama kali meninggalkan rumah, saya tinggal sendiri. Bahkan 2 tahun terakhir saya tinggal di rumah sendirian di satu komplek yang relatif sepi karena bentuknya cluster. I survived. Namun rasanya berbeda ketika datang ke Kajang. Excited, pasti. Happy, sudah tentu. Tapi fakta bahwa berhijrah ke negara orang itu tidak semudah menghabiskan satu kaleng keripik singkong, sempat terlupakan. Lahir dan besar di Dumai yang bisa menangkap siaran televisi Malaysia membuat saya sedikit terliterasi tentang budaya Malaysia; tentang kehidupan sehari-harinya, tentang bahasa. Tapi itu saja tidak cukup karena apa yang saya tau adalah apa yang dikemas oleh media, bukan apa yang benar-benar ada di depan mata. Mencicipi makanan khas Malaysia pun bukan hal baru bagi saya. Kudapan-kudapan masa kecil banyak berasal dari Malaysia. Tapi itu tidak cukup membuat saya "lulus" beradaptasi dengan mulus.
Kalau boleh cerita, saya pernah mengalami kehilangan nafsu makan di 3 bulan pertama. Kalau hanya berkunjung 3-7 hari, mungkin kita akan sangat excited untuk mencoba segala jenis makanan, tapi untuk tinggal lebih dari 4 bulan, itu bukan hal yang menyenangkan. Bahkan nasi putih dan ayam goreng rempah yang aromanya menggugah saja tidak mengobati rasa lapar. Roti dan kudapan yang dibawa dari Indonesia akhirnya jadi makanan sehari-hari. Muka berjerawat dan rambut rontok karena cuaca dan air yang tidak seperti biasanya adalah "penyakit" lainnya. Bahasa Melayu yang ternyata tidak semudah yang saya kira adalah tantangan besar pula. Berinteraksi dengan orang berbeda budaya, punya trik tersendiri karena tidak semua dapat dihadapi dengan sikap yang sama. Cara berpakaian yang sopan namun pada ukuran nilai yang berbeda pun harus disesuaikan. Belum lagi perkara rindu.
Culture shock, disebutnya. Hal-hal baru yang tidak dikenal dan perlu proses dalam memahami dan menyesuaikan diri terhadap hal-hal tersebut.
Lalu, bagaimana "mengobati" rasa terkejut dan tidak nyaman saat berhijrah itu? Pertama, saya mencoba menemukan "lingkungan nyaman" saya; teman-teman dari Indonesia. Bersyukur saya punya "keluarga" yang hangat selama di Kajang, bahkan hingga sekarang. Kedua, saya berinteraksi dengan orang lokal; kebetulan saya bekerja di kampus, ini menjadi kesempatan besar bagi saya untuk bisa beradaptasi dengan lebih baik.
Poin kedua ini yang ingin saya soroti. Bahwa ketika berhijrah, kita harus bisa meminimalisir hambatan-hambatan yang bisa menyulitkan kita dalam beradaptasi, seperti etnosentris yang tinggi, stereotipe dan prasangka. Belajar untuk bisa paham budaya lokal dan tidak membandingkan dengan budaya kita. Karena dua budaya ini PASTI berbeda. Jangankan dua budaya dari dua negara berbeda, deh, pengalaman masa kecil yang saya gambarkan di awal postingan ini juga sudah menggambarkan bahwa bahkan budaya di lingkungan sekitar tempat tinggal kita pun berbeda, kan? Dengan mempelajari dan kemudian memahami budaya yang ada, kemudian dengan sadar kita bisa belajar untuk menghindari stereotipe dan prejudis itu. Berinteraksi dengan orang lokal itu salah satu kunci, menurut saya. Karena dari interaksi tersebut, kita bisa melihat banyak hal dengan lebih objektif, tidak hanya berdasarkan ukuran yang kita punya saja.
Dulu saya pernah berargumen dengan teman mengenai Bahasa Melayu, bagaimana teman ini bolak balik mengatakan bahwa Bahasa Melayu itu aneh, strukturnya aneh, arti katanya aneh dan lain sebagainya. Setelah saya perhatikan setiap pernyataannya, ternyata dia mengukur dan menilai Bahasa Melayu dengan membandingkannya dengan Bahasa Indonesia. Ya pantas saja selalu salah. Lain hari, ada teman yang terus-terusan kesal karena ada pramuniaga orang Melayu yang judes padanya. Kemudian dia marah-marah dan memaki bahwa orang lokal itu tidak ramah. Saya berpikir, tidak jarang kok saya marah ketika dijudesi pramuniaga di Indonesia, belum lagi kalau sisa uang belanja saya dikembalikan dengan peremen. Apa bedanya? Ini bukan perkara negaranya/orang-orang di negara tertentu adalah menyebalkan, tapi ya individunya saja. Ada lagi teman yang selalu menjelekkan tempat dia bersekolah dan tempat tinggalnya, tapi pada saat ngedumel itu sebetulnya dia baru saja memutuskan untuk melanjutkan sekolah pada jenjang yang lebih tinggi di negara tersebut. Saya hanya bisa tertawa dan berkata "lha, kalau ndak suka ya pulang saja, ndak usah sekolah di sini". Kalau kata orang Sunda mah ini namanya "dipoyok dilebok", ya dihina tapi dimakan juga---dalam kasus ini: dijelek-jelekin tapi ya tetep tinggal di situ juga.
Kalau menghadapi hal-hal seperti ini, kadang saya gemes pingin mites. Tapi kemudian saya juga harus sadar bahwa ada jurang pengetahuan tentang hal ini; tentang pemahaman bahwa budaya itu berbeda-beda. Tapi setidaknya janganlah menjelekkan, mendiskriminasi, menghakimi dan lainnya, karena toh teman-teman masih tinggal di tempat itu, masih merasakan air dan udara dari tempat itu, masih makan makanan yang ada di tempat itu, masih menelan segala ilmu dari tempat itu, masih pun menggunakan maskapai penerbagannya dan lain sebagainya :)
Di postingan ini saya ingin mengimbau kepada teman-teman yang katanya hobi jalan-jalan dan berencana atau sedang tinggal di tempat lain; kota atau negara lain. Yuk mulai belajar meminimalisir etnosentris, stereotipe dan prejudis, karena itu "penyakit" yang bikin kita "miskin". Serius! Kita jadi lupa bahwa budaya itu beragam, bahkan di negaramu sendiri, bahkan di lingkunganmu sendiri. Saya pun perlu proses panjang hingga akhirnya saya ada pada titik ini, pun sekarang masih belajar :) Jadi, yuk kita belajar memahami budaya di sekitar, belajar untuk mengerti bahwa budaya itu berbeda dan pebedaan itu bukan keanehan. Kita bisa bilang budaya A, B, C itu aneh, tapi jangan lupa bahwa orang dari budaya lain pun akan mengatakan hal yang sama, bahwa budayamu itu aneh. Beradaptasi itu tidak hanya perkara kita jalan-jalan atau tinggal di tempat lain, bahkan kita perlu beradaptasi pada perubahan yang terjadi di lingkungan kita sendiri. Jadi, pelajari, pahami dan hargai budaya lain, dengan begitu kita pun dapat memahami dan menghargai budaya kita sendiri :)
Selamat piknik!
0 komentar