Kopaja dan cita

By 7:28:00 AM

Bangun pagi dan teringat tentang rasa ketika terakhir kali naik kopaja minggu lalu. Berpeluh pulang dari tempat kerja dan kemudian duduk tepat di belakang supir, mepet jendela. Melihat ke luar sambil merasakan panas tubuh, aroma sekitar, mencoba memilah udara segar dan kemudian merasakan ketidaknyamanan. 

Jakarta. Tidak pernah terpikir tinggal di sini. Mungkin berbeda dengan kamu, atau kamu. Saya tidak pernah suka Jakarta, sejak kecil. Entah kenapa. Ke Jakarta itu seperti siksa. Bahwa Jakarta adalah kota besar, memang sempat bikin iri ketika melihat tempat kelahiran teman sekelas di Jakarta. Wah, kota besar. Ibu kota negara. Sementara saya lahir di Dumai, tempat kelahiran yang sama dengan kebanyakan teman waktu saya kecil. Tapi kemudian, ketika Jakarta menjadi pilihan satu-satunya, karena beberapa pertimbangan, jadilah saya menetap di sini sejak Agustus 2011. Ya, masih dengan identitas warga Cirebon. 

Berangkat dari ketidak-inginan. Kemudian menjadi keterpaksaan karena tidak ada pilihan, sepertinya begitu. Saya tinggal di sini. Mencoba mencari Rupiah untuk sekedar hidup cukup sementara menyelesaikan pendidikan yang setelah hampir dua tahun di Jakarta ini tidak kunjung saya selesaikan. Klise. Sibuk. Jangan tanya sibuk apa, saya juga bingung. Ketika kembali lagi dekat dengan keluarga setelah berpisah sejak 2006, kembali memberikan tantangan untuk lagi-lagi beradaptasi. Jadi pertama datang ke Jakarta ini, saya beradaptasi dengan Jakarta, dengan pekerjaan, dengan pola mengerjakan tugas akhir sekolah, dengan pertemanan dan dengan keluarga yang jaraknya lebih dekat. Kombinasi yang mungkin mudah untuk banyak orang, tapi sentimentil untuk saya.

Bekerja, berkumpul dengan teman dan keluarga juga tugas akhir itu semua saya suka. Tapi perjalanannya menuju ke satu-satu dari yang saya sebutkan itu kadang terasa berat. Entah saya terlalu melankoli mungkin. Toh selama ini manis-manis saja tuh hidup di mana-mana. Kenapa Jakarta membuat saya lebih menye(?) Kembali lagi ke kopaja. Dari dalamnya kemudian mengalir pertanyaan kenapa saya bisa di sini, kenapa saya bekerja di tempat itu, kenapa tugas akhir saya tak kunjung diselesaikan, kenapa saya merasa kurang, kenapa dan kenapa dan kenapa lainnya. Kotak besi kumuh, sumpek, miskin oksigen itu sangat menguras tenaga saya. Bukan kerjanya, bukan mikirnya, tapi isi kotak itu dan keadaan di luarnya, di jalan raya. Membuat saya letih. Bukan lagi capek, tapi letih. Melihat ke luar, banyak tempat makan, minum, gedung tinggi dengan pendingin ruangan, kotak-kotak besi lainnya yang lebih manusiawi untuk digunakan. Saya tidak ada di sana. Belum bisa ke sana, kapan pun saya mau. Mungkin bukan sekarang. Mungkin bukan di sini.

Kemudian cita untuk segera bisa bekerja di tempat yang saya inginkan. Di kota yang saya impikan. Di negara yang saya incar. Semua bermunculan di kepala. Dengan tenaga yang tinggal separuh entah sepertiga, saya tetap mengukir asa. Saya tahu, semua yang dimulai pasti akan berujung. Saya selalu menyelesaikan semua tugas saya. Tidak selalu dengan sempurna. Tapi saya menyelesaikannya, tepat waktu. Kali ini, tidak. Tidak tepat waktu. Tapi saya akan menyelesaikannya. Lalu akan mengutip cita-cita satu demi satu. 

Tidak lagi berharap berlama-lama dalam kotak sumpek itu. Tidak lagi berharap menikmati pemandangan mobil dan motor parkir di jalan raya, kalau tidak mau disebut macet total. Tidak lagi berharap merasakan takut yang menyiksa setiap kali keluar rumah. Tidak lagi merasa tidak berdaya untuk merasa nyaman. Tidak lagi dikejar rasa bersalah karena belum menyelesaikan sederetan pekerjaan yang saya ciptakan sendiri. 

Kopaja hari itu sungguh melelahkan. Tentang isinya. Tentang panasnya. Tentang oksigennya yang tidak seberapa. Tentang kepala yang penuh. Tentang perjalanan yang tiada habisnya. Ingin segera keluar dari situ. Dan tidak pernah masuk lagi. Ingin sekali. 

You Might Also Like

0 komentar