JAVA WAR! Opera Diponegoro 1825-0000
Kapan terakhir kali nonton Opera? Saya sepertinya puluhan tahun lalu, jaman SD kelas 2, Opera entah apa saya lupa namanya, hadiah dari seorang uwak (alm.) waktu saya meraih Juara Umum. Waktu kecil saya pintar :D tapi sekarang hmm :)) Sejak di Jakarta saya rajin melihat laman-laman kesenian dan pementasan-pementasan. Salah satu yang rajin saya pantau adalah Salihara. Saya selalu menunggu "ada pementasan apa ya" di komunitas atau perkumpulan-perkumpulan tertentu. Beberapa bulan lalu saya sempat teringin menonton pementasan 4 Dekade -nya Guruh Soekarno Putra, tapi tiketnya mahal :) Kejadian ini sama seperti ketika saya melihat iklan pementasan Opera Diponegoro ini. Bedanya, 4 Dekade tidak pernah saya saksikan sampai sekarang, berbeda dengan Opera Diponegoro ini. Kok bisa?
Awal ceritanya begini, seorang teman saya Mba Denik memiliki kakak yang seniman, salah satunya adalah Mas Danis. Saya pernah bertemu Mas Danis dan kru-nya di Malaysia, setelah mereka manggung di Terengganu. Nah, saya sempat sekali nyeletuk "Mba, kapan-kapan kalau Mas Danis manggung, mau dong nonton kalo bisa dapet gratisan tiket". Iseng aja sih, selain karena saya suka seni, saya juga memang pingin nonton pementasan-pementasan seperti itu. Suatu hari Mba Denik bertanya melalui pesan pendek "Beb, Danis manggung nih, mau gak, gw dapet tiket". Saya? manggut dong dong ah. Tapi sampai hari H saya tidak tahu, pementasan apa sih. Sejauh ini yang saya tahu Mas Danis ini main alat musik, nari dan nyanyi, pementasannya apa, saya tidak tanya :D
Alkisah, pergilah di hari H, naik taksi sampai di depan Taman Ismail Marzuki dan Mba Denik mulai ragu, tempatnya di situ atau bukan. Dia bilang "eh tanyain gih, pementasan Opera Diponegoro di sini bukan?" saya langsung diam, recalling something dan bertanya "ini kita mau nonton Opera Diponegoro?" kemudian Mba Denik menjawab "lha iya" saya dong langsung sumringah "iya Mba, emang di sini, gw pikir kita nonton apaan, Diponegoro mah di sini". Saya tidak bisa menyembunyikan rasa senang hari itu, cengengesan aja terus sampai bertemu Mas Ragil dan Ronal, yang juga mendapat gratisan dari Mas Danis :D Hari itu Mas Ragil membawa kamera andalannya, dengan skill yang luar biasa, saya dong memanfaatkan situasi untuk minta dibidik untuk kenang-kenangan :D Foto-foto di cerita ini nanti semuanya adalah hasil jepretan Mas Ragil Duta :)
Baiklah, pengantarnya sudah terlalu panjang ya :D Jadi apa sih Opera Diponegoro itu?
Berikut ini ilustrasi yang saya dapat dari booklet yang diberikan pada saat pertunjukan:
JAVA WAR, apa itu?
Sekitar 200 tahun yang lalu serikat dagang VOC menjajah dan menguasai sistem kekuasaan feodalisme dengan membentuk kekuatan militer bayaran dan budak yang dipersenjatai, untuk menerapkan sistem ekonomi yang eksploitatif di tanah Jawa. Pada awalnya, Diponegoro mempersilahkan Belanda berdagang asal ada keadilan dan kejelasan hak-hak dan kewajiban rakyat Jawa dalam urusan perdagangan dan sewa menyewa tanah, Belanda juga diusulkan berdiam di dua kota pesisir: Batavia (Jakarta) dan Semarang.
Sesudah 200 tahun saat ini bentrokan antara serikat dagang dan sistem perekonomian global dan ekonomi lokal masih berlangsung. Gerakan spontan saat ini mengusung slogan Occupied Wall Street yang dalam tempo singkat menyebar ke seluruh kota-kota besar di dunia dengan militansi yang mengagumkan, mengingatkan kita pada betapa cepatnya gerakan pemberontakan Diponegoro menyebar dan melibatkan dua pertiga penduduk Jawa.
Mungkin saja pandangan saya keliru, mengingat saya hanya sekedar seorang penari, ujar Mas Don. Saya sering menari di dataran tinggi Jayawijaya di tengah-tengah penari Suku Dani yang berkoteka yang dipimpin oleh anak cucu Panglima Perang Wamena yang dahulu melawan Belanda dan memihak NKRI. Dalam adegan pembukaan Java War ada penari berkoteka dan juga seorang gundul yang tubuhnya penuh dengan tato. Dalam konteks permasalahan global, maka mereka bisa saja merupakan representasi masyarakat pribumi yang masih terikat erat dengan ekosistem dan watak tanah, air dan hutan di Indonesia. Tetapi suku-suku yang berkoteka dan bertato ini dijumpai juga di hutan-hutan Amazone di Brasilia, atau pegunungan-pegunungan di Amerika Selatan yang semuanya saat ini masih juga tersingkirkan dan tidak berdaya menghadapi sistem ekonomi global yang mengeksploitir sumber-sumber alam dan melupakan manusia dan nilai-nilai budaya setempat.
Karya sastra otobiografi Diponegoro dan lukisan berjudul Penangkapan Diponegoro oleh Raden Saleh adalah dua karya seni monumental, kesaksian perlawanan kultural terhadap sistem kolonial. Pertunjukan yang berjudul Java War ini berhutang pada karya sastra dan karya lukis ini yang terus menerus memberi inspirasi untuk selalu membaca masa depan lewat sejarah masa lampau.
Jakarta, 11-11-11
Sardono W. Kusumo
Sutradara
Ketika itu saya menyaksikan preview Opera ini, yang mana penontonnya adalah tamu-tamu para undangan dan juga para wartawan. Duduk di lapisan ke tiga yang mana tinggi dan agak usaha untuk melihat ke panggung tidak mengecewakan ketika Opera dimainkan.
Opera dibuka didalangi oleh Iwan Fals yang baru sekali itu saya lihat wujud aslinya dan saya dengar suara merdunya tanpa alat lain, kecuali microphone dan speaker. Luar biasa! Penampilan selanjutnya adalah seorang sejarawan Peter Carey yang meneliti dan menulis buku mengenai Diponegoro sejak lebih dari 20 tahun yang lalu. Ketika tahu bahwa penutur sejarahnya adalah seorang asing yang berstatus sebagai Profesor Emeritus Sejarah ini membuat saya malu, bergidik, dan terbakar bahwa "kenapa, saya, sebagai orang Indonesia bahkan tidak pernah mengambil kira cerita-cerita sejarah dengan lengkap, sementara seorang berdarah asing mampu menggalinya dalam-dalam dan menganggap sejarah Diponegoro ini sebagai sesuatu yang menarik dan penuh misteri yang harus diulik". Prof Carey menceritakan sedikit tentang sejarah Babad Diponegoro dan replika lukisan Penangkapan Diponegoro yang menjadi latar panggung. Gambar orang-orang VOC yang berkepala lebih besar, awalnya saya kira sebagai satu ketidak sengajaan, yang kemudian saya tahu bahwa itu memberikan simbol besar kepalanya, angkuhnya dan tamaknya orang-orang VOC itu.
Saya kira pemain Opera akan bermain di depan lukisan, namun apa yang terjadi ketika Iwan Fals menyanyikan lagu kedua? cahaya menembus lukisan dan di dalam lukisan wujud orang-orang sebagai pemeran tokoh-tokoh dalam opera ini. Bukan main! Indah. Pencahayaan yang manis memberikan kesan hidup dari setiap sudut panggung yang dibayangi replika lukisan tersebut. Takjub! Susah saya menggambarkannya, tapi itu keren sekali.
Opera ini terdiri dari 8 babak dengan tokoh-tokoh di dalamnya ada Pangeran Diponegoro, Istrinya, Ratu Kidul, Jendral de Kock, Selir-selir, petani, dan tokoh lainnya. Tokoh-tokoh dalam opear ini diperankan oleh Sardono W. Kusumo, Iwan Fals, Happy Salma, Danang PAmungkas, Agung Gunawan, Rizki Suharlin, Ni Luh Putu Astari, dan beberapa lainnya. Mas Danis di Opera ini berperan sebagai bagian dari pemusik yang melatari pementasan ini. Berbagai pupuh dimainkan di opera ini seperti Dhangdhanggula, Sinom, Kinanthi dan Maskumambang. Saya dulu sempat mempelajari pupuh-pupuh ini, tapi sayangnya sudah lupa :D
Ah, bingung mau cerita apa :) hanya saja banyak yang bisa diambil dari opera ini. Bahwa kolonial di dunia global ini masih terus ada, penindasan, kekerasan, perebutan kekuasaan dan kekayaan, dan orang-orang yang takabur. Saya suka dialog yang dibawakan oleh Happy Salma ketika memerankan Diva Mabok, Puisi Mabok-Amok yang dibawakannya mengena sekali bagaimana setiap gelas minuman keras itu bisa membawa manusia menjadi sosok-sosok tertentu bahkan binatang sekalipun; kelaparan seperti monyet atau hilang ingatan. Di sini jelas digambarkan bahwa manusia bisa berubah menjadi apa saja karena pengaruh hal-hal tertentu, entah kekayaan atau bahkan minuman keras.
Ketika sampai pada babak enam, digambarkan Diponegoro menemui Jendral de Kock dan akhirnya dikhianati karena ditanggap dan kemudian diasingkan. Dalam perjalanan pengasingan, Diponegoro melewati beberapa daerah Jawa dan Nusa Tenggara Barat dimana terdapat banyak orang yang tersiksa akibat perdangangan tenaga kerja lintas pulau dan benua (human trafficking) dan juga perbudakan atas nama perdagangan internasional.
Andai teman-teman ada di sana, walau di tempat paling atas sekalipun dimana para aktornya terlihat kecil, cerita Opera ini sangat kena di pikiran dan hati. Bagaimana senandung, rintihan, pupuh-pupuh dimainkan memberikan pesan yang kadang tidak dapat diterjemahkan oleh akal, namun bisa dirasakan oleh hati.
Salut dengan mereka yang punya ide brilliant seperti ini!
SELAMAT!
3 komentar
Ini di TIM ya? salah satu sudut Jakarta yg masih kerasa asik juga. #oot :D
ReplyDeletehahahaaha
ReplyDeleteyang hutang Planetarium *du du du
ASAP Beb..ASAP.. =)) #planetarium
ReplyDelete