Merantau
Saya sudah merantau sejak 2001, lepas masa SMA lalu meneruskan kuliah ke tanah Jatinangor. Sejak itu, saya tidak pernah benar-benar kembali ke rumah; menetap di rumah orang tua secara permanen. Dari Jatinangor saya pindah ke Bandung, meneruskan pendidikan dan bekerja. Lalu studi saya lanjutkan sampai ke negara Bunga Raya, sampai sekarang. Kalaupun pernah pulang, saya menetap di Jakarta; kost dan tinggal di rumah pemberian orangtua. Sendiri.
Banyak waktu saya habiskan sendiri. Mungkin karena saya tipikal penyendiri. Walaupun banyak teman, tidak membuat saya selalu dikelilingi oleh mereka secara fisik setiap harinya. Teman dekat saya bisa dihitung pakai jari. Tidak banyak, tetapi mereka selalu ada sejak pertama kali kami berkenalan. Senang dan susah biasanya kami bagi cerita. Iringan doa tak terhingga jumlahnya, tidak terbatas jarak pula. Walaupun mereka tidak selalu wujud nyata batang hidungnya, tapi saya tahu bahwa mereka selalu ada untuk saya. Sama seperti keluarga.
Sekian belas tahun hidup sendiri, banyak susah senang yang saya alami; dibagi atau ditelan sendiri. Saat bahagia tapi harus menikmatinya sendirian, itu getir juga, walau harus disyukuri. Saat terkena musibah atau bersedih tapi harus memikulnya sendirian, tak terperi rasanya, walau harus tetap disyukuri. Ada saat di mana saya mencapai keberhasilan setelah jatuh bangun, tapi tidak ada siapa-siapa yang bisa saya peluk untuk meluapkan haru bahagia. Ada kalanya saya terserang demam tinggi diiringi badan menggigil dan saya harus mengaduk bubur sendiri di dapur. Tidak ada ucapan selamat tidur yang menghantar ke alam mimpi.
Dari sekian banyak keputusan tentang merantau ini, yang paling saya ingat adalah keputusan untuk melanjutkan sekolah tingkat doktoral. Pertama adalah saya tidak pernah bermimpi sekolah setinggi ini. Kedua adalah saya tidak punya modal apa-apa untuk sekolah lagi. Terakhir adalah saya tidak tahu mau apa dan akan jadi apa di kemudian hari. Yang jelas, tujuh tahun lalu rasa sakit membawa saya pada keputusan itu dan Alhamdulillah orangtua merestui dengan air mata dan doa mereka.
Di ujung perjalanan sekolah tertinggi yang seperti mimpi ini, saya membuat langkah lainnya. Melawan ketakutan dan ketidakpercaya-dirian saya. Dengan modal seadanya, langkah itu kemudian mendapat sambutan. Kalau memang semesta merestui dan Allah memberikan ridha serta memudahkan jalan, saya akan melangkah lagi ke tempat baru yang lebih jauh dari rumah orangtua. Semoga ini langkah baik menuju langkah-langkah baik lainnya. Semoga Allah memberi rezeki sehat lahir bathin bagi saya dan keluarga, juga orang-orang terdekat. Dilindungi dan senantiasa didekatkan dalam hati dan pikiran. Berbekal Bismillah, saya niatkan langkah ini.
0 komentar