Pernah ngeluh juga?
Siang ini obrolan
menghangat dengan pertanyaan “pernah ngeluh juga?” ketika tema adaptasi mulai
muncul di tengah-tengah kopi siang.
Siapa yang tidak
pernah mengeluh ketika menemukan banyak hal yang tidak dikenal di
sekelilingnya? Siapa yang tidak pernah mengeluh ketika melihat banyak hal baru
yang membingungkan? Mungkin mengeluh ini levelnya beda-beda. Ada yang ngomel
sendiri. Ada yang curhat. Ada yang
menyimpannya di dalam kepala, berbicara sendiri. Tapi disadari atau tidak, keluhan
pasti saja ada ketika kita memasuki satu lingkungan baru.
Tulisan ini
konteksnya adalah mahasiswa asal Indonesia yang sekolah di Malaysia. Seperti
biasanya, saya banyak belajar dari pengalaman sendiri dan dari pengalaman orang
banyak di sekeliling saya selama merantau ini.
Oke, sebelum
meneruskan obrolan tadi, saya ingin sedikit bercerita mengenai obrolan dengan
housemate beberapa waktu lalu. Si housemate sedang berada dalam kondisi jenuh.
Secara mental, dia letih. Letih menghadapi banyak hal baru bersamaan, dia
merasa menghadapinya sendirian. Kemudian saya mengulas pelan-pelan apa yang
dihadapinya. Tentang bahasa, angkutan umum, keadaan pertemanan, tugas, kelas,
cuaca dan lain halnya. Saya menyinggung sedikit bahwa betapa seringnya dia
mengeluh dan ngomel tentang keadaan yang tidak bisa diperbaiki dengan mengeluh.
Tentang jadwal bis yang kadang ngaret. Tentang tugas yang astaghfirullah. Tentang
teman yang sibuk sendiri-sendiri. Tentang makanan yang tidak seperti seleranya.
Tentang sikap orang lokal yang tidak disukainya. Kalau disenaraikan, bisa
berlembar-lembar, mungkin. Karena intinya adalah di rantau ini, dia tidak akan
menemukan apa pun yang identik dengan apa yang dikenalinya. Tidak bahasa, tidak
cuaca, tidak lingkungan, tidak pun makanan. Tidak ada. Jadi saya minta dia
berdamai dengan keadaan. Kurangi mengeluh dan ngomel, karena ini bukan
budayanya. Belajar untuk paham alih-alih mencibir. Biar hati lebih adem. Kepala
lebih ringan. Psikologis tidak sakit.
Nah, kembali lagi
ke pertanyaan “pernah ngeluh juga?”, jawaban saya tegas, lugas, PERNAH. Seingat
saya, satu semester pertama di sini, sekitar empat bulan dalam kalender
akademik, betapa saya sering mengeluh dan menangis. Saya tidak bisa tidur,
terlalu panas. Saya kembung, karena kipas di langit-langit membuat tidak
nyaman. Tapi kalau kipas dimatikan, saya tidak bisa tidur. Kipas dinyalakan pun
sebetulnya tidak terlalu membantu. Saya tinggal di asrama yang lantainya hanya
diplester, sedih deh. Langit-langit kamar rendah. Tinggal di dalam kampus itu
minim hiburan. Kuliah saya malam, susah bis. Bisa pulang dengan jalan kaki,
tapi jalannya gelap dan sepi sekali, saya takut. Saya tidak bisa makan menu
berat di kantin, tidak bisa terima rasanya, biasanya hanya makan kudapan saja. Ah,
banyak. Serius. Sama saja. Makanya, saya memaklumi keluhan-keluhan mereka yang
masih di semester pertama. Tapi, memasuki semester kedua atau bahkan tahun
kedua, dan masih ngeluh, itu keterlaluan. Setidaknya bagi saya.
Dulu, saya merasa
beruntung karena satu kamar dengan seorang teman dari Bandung yang penyabar dan
periang. Dia hampir tidak pernah mengeluh, walaupun saya tau dia tidak suka
makanan yang dijual di kantin, tapi dia bisa makan sampai habis tanpa sepatah
kata pun mengeluarkan keluhan. Dia bisa ke toilet walaupun kondisinya tidak
terlalu baik. Dia yang tidak pernah mencuci baju, melakukannya tiap minggu
tanpa mengeluh, malahan menjadikan itu hal becandaan “di sini akhirnya gw
ngerasain nyuci baju pake tangan hahaha”. Bisa lho ketawa. Kenapa saya
mengeluh? Keluhan saya mulai diredam.
Kemudian,
bersyukur lainnya adalah keluarga saya di sini terdiri dari sederet teman-teman
yang sangat peduli satu sama lain. Dua orang teman punya mobil, termasuk
roomate saya ini. Sebisa mungkin kalau mau makan ke luar dari kampus, semua
diangkut dalam dua mobil itu. Kami berteman sekitar 10 orang, masuk ke dalam
mobil Kancil imut-imut. Kalau tidak bisa ikut salah satunya, biasanya dibelikan
makanan. Hal ini berlangsung selama kami sama-sama sekolah di Kajang. Sama-sama
tahu bahwa makanan kampus belum bisa diterima oleh lidah, jadi ketika ada yang
berkesempatan makan pecel lele atau sate padang atau menemukan jenis makanan
enak lainnya, pasti saling membelikan. Ketika ada yang kesusahan; entah sakit
atau urusan lainnya, pasti semua turun tangan. Berada di keluarga yang seperti
ini membuat saya bisa bertahan dengan senang hati. Padahal waktu itu saya
mengalami masa yang sulit, setidaknya sulit bagi saya. Mereka membantu saya
setiap saat.
Bergaul dengan
orang lokal adalah “senjata” lainnya untuk bisa bertahan di rantau dan juga
beradaptasi dengan budaya yang dianggap asing itu. Melalui interaksi dengan
orang lokal, saya paham banyak konteks yang salah diterjemahkan sebelumnya.
Contoh 1:
Ketika kata “Indon”
digunakan, saya sempat merasa “dilecehkan” pada awal-awal masa merantau.
Sepengetahuan saya, Indon itu berkonotasi merendahkan. Orang lokal terbiasa
menyingkat Indonesia dengan sebutan Indon, itu hal dasar yang harus diketahui.
Kemudian, kenapa muncul konotasi “buruh, pekerja kasar dan TKI” dari sebutan
itu? Sejak tahun 60an, orang-orang yang datang ke Malaysia adalah mereka yang
bekerja pada sektor-sektor non-formal itu. Jarang sekali orang Indonesia datang
untuk tujuan sekolah atau pekerjaan-pekerjaan profesional, walaupun ada. Nah,
tidak bisa disalahkan bahwa kemudian ketika “orang Indon” merujuk pada mereka
yang bekerja di sektor non-formal itu. Karena mereka yang wara-wiri di
lingkungan sekitar adalah orang-orang migran asal Indonesia yang bekerja di
sektor itu. Sayangnya, konstruksi itu tidak berkembang. Padahal semakin ke
sini, pendatang dari Indonesia tidak hanya datang untuk bekerja di sektor
non-formal, tapi lebih beragam; menjadi pekerja profesional, ekspatriat,
sekolah (bahkan sampai tingkat Ph.D dan dengan biaya sendiri). Tapi kita gak
bisa juga marah, kembali lagi ke sejarah kedatangan masyarakat Indonesia ke
Malaysia; bekerja sebagai pekerja di sektor non-formal, dan inilah yang terus
kuat membentuk stereotype.
Gini, kurang
sering apa orang-orang Padang dibilang perhitungan? Tapi apakah kamu pernah
menemukan teman-temanmu berdarah Padang yang tidak perhitungan? Tapi stereotype
itu turun temurun “diwariskan”, jadi tidak bisa menyalahkan juga kalau
pandangan itu salah, karena stereotype itu muncul karena beberapa pengalaman
yang kemudian digeneralisasikan, dan gitu deh.
Contoh 2:
“Mau makan sih”
ajak seorang teman yang merupakan warga lokal Malaysia. Pernah saya di posisi “apaan
sih ni orang, ngejek-ngejek” ketika
mendengar orang lokal mencoba berbahasa Indonesia atau menggunakan gue, lo,
sih, dong, bisa dan lain sebagainya. Mereka hanya bisa merujuk sinetron, itu
pun tidak bisa tau apakah penggunaan “sih” di “mau makan sih” adalah tepat atau
tidak. Tapi maksud baik mereka adalah mencoba untuk mengakomodir pendatang,
sehingga mereka mencoba menggunakan bahasa Indonesia. Berbicara dalam bahasa Melayu itu tidak mudah,
lho. Saya dari kecil sudah mengenal bahasa Melayu melalui acara tv. Kebetulan
di daerah saya tinggal waktu kecil itu bisa nangkep siaran Malaysia. Jadi
bahasa Melayu itu bukan hal baru. Tapi untuk bisa menyampaikan maksud dalam
bahasa Melayu, itu sama aja susahnya kaya menyampaikan ide dalam bahasa
Inggris. Orang lokal tau betapa susahnya berbicara bahasa Melayu itu, makanya
mereka berupaya berbicara dalam bahasa Indonesia; entah itu secara penuh
ataupun hanya logat saja. But they have tried. Itu bukan melecehkan atau
mengejek, lho. Jangan tersinggung.
Ya, memang ada
aja yang menggoda dengan menggunakan logat kita berbahasa Indonesia, tapi coba
liat lagi deh temen-temen yang sekolah di sini, tidak jarang mereka juga
melakukan hal yang sama. Jadi, jangan marah atau kesel. We do the same thing.
Dengan berteman
dengan orang lokal, saya belajar mengenal budaya tempatan. Bahasa, makanan,
adat istiadat, norma dan lainnya. Pemahaman dengan berinteraksi langsung ini
banyak untungnya, berbanding menduga-duga, salah pula :D
Saya suka
jalan-jalan, maka ketika punya uang dan waktu luang, saya sempatkan untuk
mengunjungi kota-kota di beberapa negeri di Malaysia. Sering juga sendiri.
Kesempatan ini membuat saya banyak belajar, dari mengamati. Tidak tau mendalam,
tapi setidaknya tidak sok tau lagi :D
Kadang
temen-temen yang ngeluh ke saya berhenti mengeluh karena saya cenderung “membela”
orang lokal. Padahal bukan membela. Tapi karena saya setidaknya sedikit lebih
tau berbanding temen saya yang masih dihujani stereotype, sehingga tidak bisa
berpikir objektif dan tidak membuka diri terhadap budaya yang baru di
lingkungannya.
Jadi, jangan
heran kalau ketika ketemu hal baru di rantau, kamu akan ngeluh. Wajar. Itu bagian dari proses adaptasi. Tapi mungkin
bisa diminimalisir dengan kurangi keluhan, kurangi tuduhan dan bukalah diri
terhadap budaya lain.
Gitu dulu kali ya.
Saya mau belajar lagi :)
2 komentar
Gue suka ngeluh, semua hal gue keluhkan :D
ReplyDeleteKalau nggak ngeluh rasanya ada yang kurang #duniaharustahu
*TOSS*
Delete