Rumah: kata kuncinya
Waktu itu di Bromo. Pagi itu langit
masih gelap. Entah karena terlalu pagi, atau langit pagi itu memang sedang
gelap karena tertutup mendung yang pekat. Alih-alih menunggu matahari terbit,
saya dan beberapa teman pasrah dengan jatuhnya butiran air hujan yang semakin
lama semakin deras. Mobil yang bermuatan lima orang pun menjadi rumah dadakan.
Isinya penuh dengan bantal, selimut, makanan, minuman, tawa dan bahkan diam. Pandangan
terbatas melalui jendela pun menjadi hiburan di pagi hari.
Harapan bahwa dapat menikmati matahari
terbit dengan bergerak ke Penanjakan sesegera mungkin sirna ketika bahkan untuk
keluar dari kotak besi tempat kami berlindung pun sulit, karena akan basah.
Kuyup. Semua diam. Semua menahan rasa kecewa. Semua menahan rasa kantuk yang
menumpuk. Tetapi ada yang berbeda di dalam sana, di kotak besi dengan kapasitas
lima orang itu. Sesosok yang tidak asing. Tapi tetap asing, bagi saya. Diam.
Membisu. Tetapi ada entah apa yang dipancarkannya. Jangan tanya apa itu. Saya
pun tidak tahu.
Cerita kabut itu mungkin awal dari
satu cerita lainnya. Mungkin akan lebih panjang dari episode drama kacangan
yang ada di televisi swasta. Tapi, cerita kabut itu sebetulnya titik di mana
butiran embun merembes dan memberikan rasa nyaman di dalam tubuh. Mungkin. Saya
juga tidak tahu pasti. Ini pun bisa ditulis setelah saya duduk lebih dari dua
kali dua puluh empat jam dan seolah dapat wangsit. Ya, wangsit bahwa sebetulnya
yang saya cari ada di sekitar saya. Di depan mata.
Kembali lagi ke kabut. Kabut itu masih
pekat, bahkan ketika saya kembali ke Jakarta. Kali ini di Jakarta. Tidak
terlihat apa-apa. Bahkan kalau berjalan bersama-sama pun, rasanya ya tetap saja
buta. Tidak terlihat. Hingga pada suatu hari mendapat kiriman rangkaian kata
yang membuat saya diam. Saya diam (?). Agak aneh bahwa saya bisa diam.
Keadaannya waktu itu adalah kabut dan kosong. Tidak tahu apa yang sedang
terjadi dan apa selanjutnya.
Kali ini saya tinggalkan kabut-kabut
itu. Coba untuk menyimpannya dalam kotak sepatu. Ya, kotak sepatu saja, agar
tidak mubazir. Sengaja agar bisa sedikit melihat. Kembali ke dua ribu delapan.
Lalu dua ribu sembilan. Lalu dua ribu sebelas. Terakhir dua ribu dua belas. Tidak
menemukan tanda apa-apa. Tidak menemukan alasan seujung kuku saja. Tapi kalau
kamu tahu bagaimana rasanya pulang ke rumah setelah pergi sekian lama. Itulah rasanya.
Tanpa harus tahu alasannya. Nyaman. Dan yakin bahwa kamu akan terus nyaman. Itulah
hasil dari meletakkan sebentar kabut dalam kotak. Rumah. Kata kuncinya.
Merasa asing terhadap sesuatu yang
sebetulnya tidak asing itu agak membingungkan. Sama membingungkannya ketika
saya harus mengulang kata asing di tulisan ini. Tapi rasa asing itu seperti
menjanjikan dua sofa berjejer dilengkapi meja kecil dengan dua cangkir kopi dan
dua orang lainnya yang akan menggunakannya. Untuk berbagi cerita. Bersama-sama.
Kabut dan asing adalah dua kombinasi
yang tidak bisa menggambarkan rumah. Tapi kenyataan bahwa kabut itu tidak asing
dan keasingan itu tidak lagi menutupi pandangan mata seperti kabut di Bromo
hari itu, membuat saya merasa menemukan rumah. Dan saya meyakini bahwa kabut
itu kemudian akan tersingkap oleh angin, pelan-pelan. Dan saya meyakini bahwa
keterasingan akan menjadi kedekatan ketika dikenali dengan mendalam.
Jalannya masih panjang. Mengutip kabut
sedikit demi sedikit agar pandangan lebih jelas. Mengupas lapisan demi lapisan
untuk mengetahui wujud intinya. Perjalanan panjang. Tapi keyakinan bahwa akan
bisa duduk mengisi sofa yang menunggu cerita, rasanya this journey is worth enough to try. Worth enough to reach home. Bukan di Bromo. Bukan di Jakarta. Tapi di rumah. Kita.
It is a solid trip plan.
When you read this, I am waiting for you, then we go home.
4 komentar
Mrebes mili mocone cuk...
ReplyDeleteUapik tenan pengandaianmu mbak..
Nggarai mikir lan merenung nepakno awaku dewe..
Kapan yo aku iso nyicil omah..
Halah...
hehehehe...
(for further information please refer to google translate)
:p
Mbah Google *sembah2*
Deleteowh jadi cuprusan disana itu membalas rangkaian kata disini.
ReplyDeleteindah
smoga perjalanan indah ditempuh sampai ke rumah.
Aaaaak...Mba De membaca *tersipu*
DeleteAmin :)