Linggarjati, Kuningan

By 7:38:00 AM

Halaman Museum

Pintu dan kursi

Meja Pemimpin perundingan

Salah satu wakil Indonesia, DR. A. K. Gani

Liburan lebaran beberapa waktu lalu membawa saya ke beberapa tahun jaman SMA ketika terakhir kali saya mengunjungi Linggarjati, satu daerah di antara kota Cirebon dan Kuningan yang belakangan saya tahu bahwa disitu ada musiumnya juga selain tempat rekreasi *jedotin kepala ke tembok*. Another take it for granted thing in my life! Asal kata Linggarjati ini macem-macem seperti yang dikatakan oleh Sunan Kalijaga bahwa tempat ini merupakan tempat linggar (tinggal) Sunan Gunung Jati, atau karena tempat ini merupakan tempat bermusyawarahnya para Wali Songo dan nalingakeun ilmu sejati dan beberapa pendapat lainnya.

Cerita lain soal Linggarjati ini adalah menyangkut catatan sejarah Bangsa Indonesia mengenai Perundingan antara Indonesia dan Belanda yang membincangkan pengakuan terhadap status kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Perundingan Linggarjati kita biasa menyebutnya yang dilaksanakan pada tahun 1946 diwakili oleh Sultan Sjahrir, M. Roem, Susanto Tirtoprojo dan A.K. Gani. Dari semua yang ada saya hanya ingat dengan M. Roem, yang dulu saya kira adalah orang Belanda *tepok jidat*, dan A.K. Gani. Entah kenapa, tapi nama A.K. Gani itu selalu melekat di benak saya sejak pelajaran sejarah itu masih disebut PSPB sampe dengan sekarang. Di benak saya beliau itu sosok yang pintar, cerdas, tegas dan berwibawa. Entahlah dapet gambaran itu darimana. Mungkin cetakan buku sejarah saya salah, tolong koreksi ya *nyengir kuda*.

Gambaran besar hasil perundingan ini adalah bahwa Belanda telah mengakui kemerdekaan dan wilayah Indonesia yang meliputi Jawa, Sumatera dan Madura. Salah satu diantara 17 pasal yang ada menyatakan bahwa Belanda akan meninggalkan Indonesia pada 1 Januari 1949. MERDEKA! tapi yaa, bukan kumpeni namanya kalau tidak ada pelanggaran perjanjian :D *maaf lho*.

Soal sejarahnya segitu saja ya, saya kurang bisa menghafal sejarah kecuali mau EBTA :D tapi kalau mau baca-baca bisa coba klik ini, ini atau ini.

Bangunan museum ini bukan lagi bangunan asli, sudah dihancurkan dan dibangun kembali yang saya lupa itu tahun berapa. Di salah satu dinding ruangan bangunan ini tergambar rapi bagaimana tuanya bangunan ini dan kemudian dipugar kembali. Ruangan itu terdiri dari ruangan tamu, ruang tengah yang direpresentasikan sebagai ruang perundingan, ruang duduk di bagian belakang dimana banyak foto-foto Bung Karno disana, ruang makan dengan tulisan DAINING ROOM hehe, ruang tidur para delegasi yang rapi lengkap dengan kasur bertutupkan kain putih juga bantal dan guling. Bentuk bangunan ini masih sangat kuno dengan jendela besar tinggi dimana-mana yang dengan ramah membiarkan udara sejuk masuk kapan saja jendela itu dibuka.

Tidak semua perabot merupakan perabotan asli, yang asli akan diikat dengan rantai dan tidak boleh disentuh sembarangan, sementara yang lainnya adalah duplikat saja untuk pengisi ruangan. Ada satu akuarium besar berisi boneka-boneka mereka para delegasi ketika menjalankan perundingan. Entah apa rasanya waktu itu, ketegangan mungkin ya..was-was apa yang akan dilakukan kumpeni atas perundingan yang membuat mereka menjadi sosok tidak berkuasa. Di setiap bidang datar dinding bangunan ini dipajang aneka foto reproduksi yang pixel-nya entah sebesar-besar apa hehe dilengkapi dengan keterangan dari setiap gambar. Dari pajangan ini saya tahu hal-hal yang tidak pernah saya tahu dari buku sejarah. Entah yang mana yang benar ya, sejarah ya sejarah, mungkin bahkan yang punya sejarah pun tidak tahu sejarah sebenarnya seperti apa :)

Sebetulnya ada satu rumah Tuan Sjahrir di daerah agak ke bawah, tapi saya tidak sempatkan diri ke sana, entah kenapa alasannya. Sekarang baru merasa bodoh kenapa tidak ke sana *ketok kepala*. Di depan museum ini banyak tukang jualan, bagi yang lapar. Ya, museum ini sudah jadi tempat kunjungan wisata jadi penjual itu memanfaatkan sejarah untuk membeli sesuap nasi, atau dua suap ikan mungkin ;) Masuk ke museum ini tidak dipungut biaya, karena belum ada landasan hukumnya, katanya begitu. Di situ disediakan kotak yang dimaksudkan agar para pengunjung memberikan sumbangan seadanya. Untuk tempat gratisan seperti ini, saya merasa senang dengan si bapak yang menjaga tempat ini. Dia dengan baik mau menerangkan arti gambar, benda dan lain-lain yang ada dalam tiap sudut ruangan tanpa minta dibayar. Bukan khusus jadi pemandu juga, tapi dia tidak pelit informasi. Ada juga satu orang penjual buku tentang perundingan ini menjual buku dengan harga Rp. 3000. Boleh beli, tidak beli pun tidak mengapa. Suka-suka saja.

Dari museum saya jalan lagi turun ke bawah menyusuri jalan tadi ketika datang. Ini agak menanjak karena Kuningan ini daerah dataran tinggi, tapi hawanya tidak sesejuk 10 tahun lalu, ah polusi...kiri kanan masih ada sawah walaupun dengan jumlah yang lebih sedikit. Sawah beton sekarang yang lagi tren. Saya ke tempat rekreasi. Bentuknya seperti hutan wisata. Banyak orang pasang tikar dan duduk-duduk di sana entah dengan kekasih atau keluarga. Makan, minum, ketawa, cari kutu - mungkin. Ada juga tempat permainan angsa di kolam, judi melempar gelang, kios kecil yang menjual pernak pernik yang saya yakin itu bukan asli budaya daerah situ karena ada kerang dan topi pantai yang tidak mecing dipakai di sana hehe *komentar aja*. Tapi untuk santai dengan keluarga ya cukup menyenangkan juga. Saya membeli gorengan sampe dua kali. Ah gorengan itu memang surga!

Itu saja oleh-oleh dari Linggarjati, tidak terlalu menarik mungkin. Tapi setidaknya kepulangan saya liburan ini menyentuh kembali cerita sejarah yang sudah saya tinggalkan selama 10 tahun lamanya :)

Selamat piknik ya :)
*foto koleksi pribadi*

You Might Also Like

0 komentar